Sejarah berkembangnya kesenian ini telah berakar di kebudayaan masyarakat sunda sekitar abad ke-8. Ketika itu rakyat Rancakalong(daerah Sumedang) yang sebagian besar bermata pencaharaian bercocok tanam di ladang mengalami musibah yaitu panen padinya gagal, sehingga terjadilah malapetaka kelaparan. untuk mengatasi musibah ini, maka seorang tokoh masyarakat di Rancakalong yang bernama Wisanagara bersama tokoh lainnya bermusyawarah untuk mengganti tanaman padi menjadi tanaman hanjeli. Namun sayang tanaman ini pun nampaknya kurang berhasil atau tidak menutupi kebutuhan. konon pada suatu hari ada seorang anak kecil yang merasa kelaparan memasuki lubung hanjeli karena keingintahuannya persediaan hanjeli, namun sialnya anak tersebut tertimpa seikat hanjeli sehingga meninggal dunia.
Dikarenakan musibah itu, (sesepuh)masyarakat Rancakalong memutuskan untuk tidak lagi menanam hanjeli dan akan diganti kembali dengan menanam padi. tapi ketika itu untuk menanam padi pun bibitnya telah habis. Para sesepuh masyarakat bermusyawarah lagi untuk berupaya mencari bibit padi tersebut dan atas kesepakatan dari musyawarah dua orang seniman yang satu diantaranya anak seorang tokoh yaitu Jatikusumah yang menurut rakyat Rancakalong disebut Wiranaga bersama seorang temannya yang bernama Raguna diutus untuk mencari padi ke negara Mataram yang ketika itu sangat tersohor akan kemakmurannya.
Dengan berbekal sebuah kecapi, maka dua sahabat tersebut pergi menuju negara Mataram untuk melaksanankan tugasnya sambil mengamen seni kecapi dan sampailah mereka ke tapal batas kerajaan mataram yang memang saat itu di negara mataram sedang ketat menjaga keamanan karena masuknya Agama Isalam. tapi dengan kecerdikannya yang beralatkan sebuah kecapi dua sahabat tersebut dapat masuk ke wilayah negara mataram, namun setelah masukpun mereka merasa kebingungan untuk mencari bibit padi tersebut. untunglah pada saat ini mereka bertemu dengan seorang yang di Masyarakatnya mempunyai pengaruh dan ia pun mengerti kedatangan dua orang tersebut, berhasillah bibit padi yang mereka cari itu dan supaya tidak mengundang kecurigaan pemerintah mataram, bibit padi itu oleh mereka dimasukan ke dalam kecapi. setelah bibit padi berhasil disembunyikan, kedua orang tersebut berpamitan untuk pulang kembali ke Rancakalong.
Ketika perjalanan pulang inilah Wiranagara (Jatikusumah) terinspirasi membuat alat musik yang disebut Tarawangsa, yang mana tujuannya adalah agar ringan membawa bibit padi karena bibit padi tersebut bisa dibagi dua dan dimasukan ke dalam tarawangsa. Selain itu, alat music ini pun sangat cocok dipadukan suaranya dengan kecapi hingga terdengar harmonis. Sesampainya di Rancakalong mereka disambut dengan penuh kegembiraan karena berhasilnya dan untuk mewujudkan rasa gembira dan syukuran maka rakyat Rancakalong menabuh kecapi dan tarawangsa tersebut buatan Wiranaga (Jatikusumah) sebagai bentuk penghormatan. Sejak saat itulah kesenian Tarawangsa mengakar di tatar budaya sunda.
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. bentuk badan instrumen ini hampir mirip dengan alat musik shamisen dari Jepang dengan bentuk persegi dan batang yang kecil. Akan tetapicara memainkannya adalah dengan menggeesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain . Sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri sehingga masing-masing dawai diberi nama guru lagu dan goong. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng.
Pementasan Tarawangsa biasanya terdiri dari 2 orang pemain musik yang masing-masing memainkan tarawangsa dan jentreng. Kemudian iringan musik ini biasanya dipadukan dengan tarian di mana penarinya terdiri dari lima orang laki-laki dan perempuan di mana pementasannya dimulai semalam suntuk dari mulai waktu setelah shalat isya. Kesenian ini sangat kental dengan budaya agraris masyarakat sunda dan biasanya dimainkan pada beberapa acara adat seperti Ngaruat, Ngalaksa, Ngarosulkeun, Buku Taun, Panenan di mana biasanya terdapat sesajian sebagai bentuk rasa syukur terhadap dewi Sri sang pembawa berkah panen. Yang unik dari kesenian ini adalah para penarinya yang terkadang mengalami kondisi trance(hilang kesadaran) karena terbawa oleh alunan musil yang kadang-kadang diidentikkan dengan hal berbau mistis.
No comments:
Post a Comment